Nostalgia, Blog, dan Citizen Jurnalism!

Posted by FONDA AUGUST at 12:39 AM

Tuesday, August 7, 2007



Oleh: Fonda August

Seingat saya, satu atau dua dasawarsa yang lalu, buku harian seolah menjadi primadona penyuka hobi corat coret dan tulisan. Tanpa bingung rangkai kata-kata yang benar dan berstruktur, kegalauan jiwa, perasaan tanpa arah, nostalgia percintaan, tragedi berujung trauma, draf acara, jadwal kerja, semua tertuang dalam sebuah catatan harian yang tertumpah dalam helaian kertas.

Buku harian menjadi sebuah sarana atau wadah memutar waktu bernostalgia pada sebuah memori yang kapan saja hilang dari ruang ingatan. Buku harian, bisa menghadirkan sebuah senyum kecil, senyum masam, senyum sinis, bahkan senyum lebar ketika sang penulis membaca kembali rangkaian kalimat yang pernah disusunnya. Kala itu, buku harian tak ubahnya sebuah tren menumpahkan curahan hati seorang diri tanpa berharap imbal kasih. Tren yang digandrungi banyak pemuda, pemudi. Meski hingga kini, daya magnetnya belum sampai mati.

Waktu memang tidak bisa dibendung. Tiap detik, tiap menit, tiap jam, hingga tiap tahun, waktu menghasilkan buah pikiran segar. ‘Produksi’ teknologi tidak bisa dihambat untuk menghasilkan sebuah inovasi. Dan, ‘buku harian’ tidak bisa mengelaknya. Tumpukan helai kertas, kini sudah terganti dengan tumpukan ‘kertas’ kaca. Kini eranya komputerisasi, wabahnya sudah meradang kemana-mana, buku harian harus mau jadi korban.

Popularitasnya terpinggirkan dengan satu kata bernama ‘Blog’. Beberapa tahun terakhir, blog cukup memesona pecinta tulis menulis. Jika buku harian bersifat tertutup, maka blog lebih populis dan bisa diakses siapa saja yang berminat membaca. Anda, Dia, atau Mereka, bebas membuka, membaca, dan mengomentari.

Beragam definisi menerangkan arti kata sebuah blog. Kamus Besar Bahasa Indonesia versi Balai Pustaka, menjabarkan blog yang disesuaikan dengan arti pertama dengan ‘kata, frase atau kalimat yang mengungkapkan makna, keterangan, atau ciri utama dari orang, benda, proses, atau aktifitas; batasan (arti);

Dalam sebuah catatannya, Enda Nasution, Bapak Blogger Indonesia, sempat mendefinisikan blog sebagai cara mudah untuk mengenal kepribadian seorang blogger. Topik-topik apa yang dia sukai dan tidak dia sukai, apa yang dia pikirkan terhadap link-link yang dia pilih, apa tanggapannya pada suatu isu. Seluruhnya biasanya tergambar jelas dari blog-nya. Karena itu bersifat sangat personal.

Labibah Zain, pendiri Blogger Family pernah berpendapat dalam sebuah catatannya pada 2005 lalu. “Web dan log (weblog) adalah media dimana pemiliknya menuliskan catatan pribadi, opini berupa tulisan maupun gambar yang bisa terus diperbarui dan diakses melalui internet. Pemilik weblog-disebut weblogger-bebas mencurahkan pemikiran baik berupa tulisan maupun gambar disitu, melengkapi dengan desain yang diingini dan melengkapinya dengan fasilitas yang memungkinkan terjadinya interaksi antara pemilik dan pengunjung weblog-nya,” begitu jelasnya dalam sebuah artikel yang dimuat salah satu koran besar nasional kala itu.

Blog = Jurnalistik, Jurnalistik ≠ Blog?

Blog bisa menggugah minat penikmat layanan internet, blog bisa menghipnotis siapa saja untuk memanfaatkan. Blog bisa mempopulerkan seseorang, tapi blog juga bisa menceburkan seseorang dalam koridor cibiran dan kegeraman. Tak heran bila di Malaysia, fenomena blog tengah digodok perundang-undangannya yang mengatur tulisan bernada fitnah, bohong, dan negatif lain, mengingat keberadaan blog di negeri jiran itu digunakan sebagai
oase infomasi alternatif disamping media massa umum.

Memang beberapa waktu lalu di negara Petronas itu sempat digegerkan dengan rasa kegeraman dan kejengkelan Menteri Pariwisata Malaysia terhadap blogger Indonesia yang mengungkap rasa ketidak puasannya saat meliput pariwisata negara itu, padahal ia diundang secara resmi. Sang menteri berujar, “Tulisan itu tidak benar, Seorang penulis itu pembohong yang menyia-nyiakan waktunya untuk menulis blog.”

Pertanyaannya adalah apakah blog termasuk produk jurnalistik, blogger layak disebut jurnalis, apakah blog bisa disejajarkan dengan citizen jurnalism? Jadi ingat saya apa yang sempat ditulis Indah Julianti Usmar Sibarani, tentang uraian, takaran, dan posisi blog dalam sebuah tataran ruang jurnalisme.

Merujuk dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang ‘Pers yang meliputi media cetak, media elektronik, dan media lainnya, sebagai sarana mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan’. “Ah, mungkin blog bisa masuk dalam kriteria media lainnya dalam undang-undang diatas. Toh, bisa dilihat, dibaca, dan diakses khalayak,” gumam hati saya yang sepikiran dengan penulis jika menyebut blog sebagai produk jurnalistik, apalagi bila menerapkan ‘aturan’ KEJ yang harus memenuhi unsur 5 W + 1 H.

Namun jika menilik Pasal 1 ayat (1) tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik dan Pasal 1 ayat (4) menyebutkan Bab I Pasal 3, Bab II Pasal 5 dan Bab III Pasal 13, maka para blogger harus melakukan kegiatan jurnalistik seperti peliputan, menyebutkan dengan jelas sumber informasinya, menyatakan identitas yang jelas kepada narasumbernya, dan dalam tulisannya tidak mencampur adukkan antara fakta dengan opini sendiri.

Persoalannya, apakah semudah itu? Memang tidak gampang meletakkan posisi blog sebagai produk jurnalisme. Batasan blogger penulis peristiwa (blog jurnalis) dengan citizen jurnalism memang tipis, belum ada pagar pembatas yang akurat. Paling tidak kebosanan membaca, mendengar dari media massa bisa terobati dari perkembangan teknologi berupa blog yang notabene wadah informasi alternatif.

Paling tidak, alangkah baiknya jika para blogger mampu memahami kaidah jurnalistik dan menerapkannya dalam sebuah blog pribadi. Keuntungan yang didapat bisa menyalurkan hobi menulis, mampu dinikmati khalayak, dan paling krusial bisa terbebas dari jerat hukum laiknya di negeri Paman Sam, Amerika.

Jika Anda bisa menulis, punya blog pribadi, dan sudah di publish, mengapa tidak ‘bekerja’ pada blog Anda sendiri? Sekarang Anda-lah bosnya!

0 comments: