Posted by FONDA AUGUST at 1:55 AM

Saturday, June 23, 2007


7 Alasan Datangi FJB 2007

Bagi saya, yang juga berprofesi sebagai jurnalis media massa bersegmen wanita (Venus Magazine) rasanya enggan untuk meninggalkan acara unik dan pastinya meriah macam Festival Jajanan Bango (FJB) 2007. Ada banyak hal yang melandasi need saya untuk tidak meninggalkan acara tahunan ini, jika berhitung ada tujuh alasan mengapa saya mewajibkan hadir pada 5 Mei 2007 di FJB Surabaya (Lap.Basuki Rahmat).
Pertama, karena tuntutan pekerjaan yang harus meliput seputar aktifitas FJB 2007, dimana aktifitas sekaliber FJB 2007 nyaris jarang ditemui di Surabaya. Mengapa demikian? Urusan kuliner di Surabaya memang hebat dan banyak ragamnya, tapi jika bicara helatannya (even) jangan harap lebih. Paling-paling jika ada peringatan HUT kota Surabaya, tandingannya jelas Festival Rujak Uleg dan acara bertajuk Festival Makanan Rakyat (2007 dihelat di Ps. Genteng). Selebihnya, no way….!
Kedua, rasa penasaran yang mendera ketika saya tahu setiap tahunnya tema FJB senantiasa berubah. Merujuk dari pengalaman tahun lalu, FJB 2006 yang digelar di Balai Kota Surabaya mengusung konsep ‘pasar malam tempo dulu’ dengan menghadirkan tontonan layar tancap (orang Surabaya menyebutnya demikian), cukup mendapat apresiasi masyarakat. Langsung saja satu kalimat tersemat pada otak saya, ‘tahun ini apa ya konsepnya?’. Dan terjawab sudah dengan tema ‘Aneka Makanan Tradisional Nusantara’, FJB 2007 setidaknya sudah mengobati rasa penasaran saya dengan segala aktifitas didalamnya.
Ketiga, meski saya berbadan kurus, jangan heran jika saya doyan makan. Apalagi saya mempunyai kebiasaan buruk, kalau sedang stres pasti mencari makanan dimana saja. Berdasar alasan ini, FJB 2007 tidak lantas ditinggalkan meski saya tidak bisa makan banyak. Tapi kelebihannya saya bisa mencicipi banyak macam menu, karena tersaji 42 penjaja makanan. Mau makanan populer asli Surabaya, atau makanan khas Duta Bango (Jakarta, Bandung dan Medan). Dari puluhan menu itu, Bika Ambon Zulfaida dari Medan yang mampu bikin ‘orgasme’ selera kuliner saya.
Keempat, berharap mendapat sesuatu yang lebih selain wisata kuliner, FJB 2007 menjawabnya dengan menghadirkan tarian tradisional asal Madura (Tanduk Majeng), Reyog Ponorogo, parodi band Kuch-Kuch Hota Hai, demo masak, atau pula games interaktif. Kebetulan saya orang Surabaya tulen, pastinya hiburan-hiburan semacam itu bisa menjadi oase penangkal stres warga metropolis. Rasanya tidak hanya saya yang masih muda, bagi mereka warga Surabaya yang sudah berumur bisa memanfaatkan hiburan bernuansa tradisional disana sebagai pelepas penat.
Kelima, berkaca pada tahun sebelumnya perhatian penyelenggara secara penuh terhadap keamanan dan kenyamanan yang membuat saya cukup bersimpati. Bagi saya menghadirkan rasa aman dan nyaman bisa menjadi kunci sukses suatu gelaran acara, apalagi di tahun ini menghadirkan satu terobosan baru semacam arena bermain anak-anak (play ground). Imbasnya cukup positif bagi pengunjung keluarga dimana anak-anak bisa asyik bermain, sedangkan orangtua bebas untuk berkeliling hunting makanan. Anak senang bermain, orangtua asyik belanja tanpa rasa was-was. Klop sudah!
Keenam, faktor Simbiosis Mutualisme! Saya sangat ingin tahu seberapa besar magnet even ini terhadap peluang bisnis yang lain. Pikir saya cukup sederhana, adanya FJB 2007 di Surabaya cukup memberikan dampak positif bagi warga di lingkungan kota Pahlawan ini. Misalnya saja bermunculan pedagang-pedagang asongan yang sengaja atau tidak sengaja mendadak berkumpul menjajakan dagangan didepan pintu masuk area FJB 2007, juga mendadak pula lahan parkir trotoar muncul tiba-tiba. Karena fenomena ini, setidaknya lahan rejeki dadakan sudah mampu menguntungkan orang-orang di sekitar. Inputnya bagi FJB 2007, paling tidak keberadaan mereka ini cukup menjadi magnet perhatian bagi pengguna jalan Basuki Rahmat, Surabaya.
Ketujuh, adalah strategisasi. Pusat kota merupakan pilihan tepat, dimana lokasinya bisa dengan mudah diakses dari segala penjuru daerah. Namun sayang, helatan yang begitu besar dengan segala dampak kemacetan lalu lintasnya kurang terpikirkan secara serius. Dan satu lagi, mungkin saya termasuk salah satu orang yang mengeluh dengan lahan parkir yang tidak representatif, mengingat untuk menitipkan motor sementara saja harus mondar-mandir tidak karuan, apalagi pengunjung yang naik kendaraan roda empat. Yah, ujung-ujungnya parkir gelap menjadi pilihan saya, yang mau tidak mau harus bayar jasa Rp.2000,-.
Sudahlah, bagi saya semua itu sebuah pengalaman yang mengasyikkan. Kalau memang nantinya FJB digelar tiap tahun, kenapa kita (warga Surabaya) harus rekreasi ke luar kota, kita tunggu saja kedatangannya sebagai pelepas ‘dahaga’ wisata kita. Sampai ketemu FJB 2008! – (naskah: fonda august /foto:bambang)

2 comments:

JieWa Vieri said...

wah.. sayang sekali saya melewatkan even ini. Sebenarnya pengen dateng, tapi temen2 susah diajak kompromi. Ternyata menarik ya.. Moga2 tahun depan ada lagi :)

JiE
http://www.inijie.com

jagung manis said...

link awscomm.blogspot.com udah waktunya dipajang lho......